Minggu, 29 Agustus 2010





Sejarah Kraton Yogyakarta

KRATON Yogyakarta dibangun tahun 1756 Masehi atau tahun Jawa 1682 oleh Pangeran Mangkubumi Sukowati yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I. Setelah melalui perjuangan panjang antara 1747-1755 yang berakhir dengan Perjanjian Gianti.

Sebelum menempati Kraton Yogyakarta yang ada saat ini, Sri Sultan Hamengku Buwono I atau Sri Sultan Hemengku Buwono Senopati Ingalogo Ngabdulrahman Sayidin Panotogomo Kalifatullah tinggal di Ambar Ketawang Gamping, Sleman. Lima kilometer di sebelah barat Kraton Yogyakarta.

Dari Ambar Ketawang Ngarso Dalem menentukan ibukota Kerajaan Mataram di Desa Pacetokan. Sebuah wilayah yang diapit dua sungai yaitu sungai Winongo dan Code. Lokasi ini berada dalam satu garis imajiner Laut Selatan, Krapyak, Kraton, dan Gunung Merapi.

Bangunan Kraton Yogyakarta sedikitnya terdiri tujuh bangsal. Masing-masing bangsal dibatasi dengan regol atau pintu masuk. Keenam regol adalah Regol Brojonolo, Sri Manganti, Danapratopo, Kemagangan, Gadungmlati, dan Kemandungan.

Kraton diapit dua alun-alun yaitu Alun-alun Utara dan Alun-alun Selatan. Masing-masing alun-alun berukurang kurang lebih 100x100 meter. Sedangkan secara keseluruhan Kraton Yogyakarta berdiri di atas tanah 1,5 km persegi.

Bangunan inti kraton dibentengi dengan tembok ganda setinggi 3,5 meter berbentuk bujur sangkar (1.000 x 1.000 meter). Sehingga untuk memasukinya harus melewati pintu gerbang yang disebut plengkung. Ada lima pintu gerbang yaitu Plengkung Tarunasura atau Plengkung Wijilan di sebelah Timur Laut kraton. Plengkung Jogosuro atau Plengkung Ngasem di sebelah Barat Daya. Plengkung Joyoboyo atau Plengkung Tamansari di sebelah Barat. Plengkung Nirboyo atau Plengkung Gading di sebelah Selatan. Plengkung Tambakboyo atau Plengkung Gondomanan di sebelah Timur.
Dalam benteng, khususnya yang berada di sebelah selatan dilengkapi jalan kecil yang berfungsi untuk mobilisasi prajurit dan persenjataan. Keempat sudut benteng dibuat bastion yang dilengkapi dengan lubang kecil yang berfungsi untuk mengintai musuh.

Penjaga benteng diserahkan pada prajurit kraton di antaranya, Prajurit Jogokaryo, Prajurit Mantrijero, dan Prajurit Bugis. Prajurit Jogokaryo mempunyai bendera Papasan dan tinggal di Kampung Jogokaryan. Prajurit Mantrijero dilengkapi dengan Bendera Kesatuan Purnomosidi dan tinggal di Kampung Mantrijeron. Prajurit Bugis yang berbendera Kesatuan Wulandari tinggal di Kampung Bugisan.

Masa pemerintahan Kraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono I (GRM Sujono) memerintah tahun 1755-1792. Sri Sultan Hamengku Buwono II (GRM Sundoro) memerintah tahun 1792-1812. Sri Sultan Hamengku Buwono III (GRM Surojo) memimpin tahun 1812-1814.

Sri Sultan Hamengku Buwono IV (GRM Ibnu Djarot) memerintah tahun 1814-1823. Sri Sultan Hamengku Buwono V (GRM Gathot Menol) memerintah tahun 1823-1855. Sri Sultan Hamengku Buwono VI (GRM Mustojo) memerintah tahun 1855-1877. Sri Sultan Hamengku Buwono VII (GRM Murtedjo) memerintah tahun 1877-1921.

Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (GRM Sudjadi) memerintah tahun 1921-1939. Sri Sultan Hamengku Buwono IX (GRM Dorojatun) memimpin tahun 1940-1988. Sri Sultan Hamengku Buwono X (GRM Hardjuno Darpito) memimpin tahun 1989 - sekarang. ***


SEMAR DAN SENJATA KENTUT-NYA
Melanjutkan refleksi budaya pewayangan pada tulisan pertama yaitu DUNIA PEWAYANGAN DAN KEKUASAN ORDE BARU yang membahas tentang etika Jawa berkenaan dengan pimpinan ideal dan kekuasaan, tulisan kedua MAKNA PERANG BHARATAYUDA DAN PERUBAHAN yang membahas tentang ketidak sempurnaan manusia dan hakekat perang saudara dalam kerangka menegakkan kebenaran melawan keangkara-murkaan agar terjadi perubahan yang nyata untuk menuju pada tata masyarakat yang lebih baik, pada tulisan kali ini penulis akan membahas tokoh yang sangat menarik didunia pewayangan yang paling banyak mendapat perhatian dan berbagai intrepertasi simbolik yang sangat bervariasi yaitu tokoh Semar dengan senjata ampuhnya Kentutyang merupakan bagian terakhir dari trilogi pewayangan.
Semar adalah tokoh utama panakawan - arti dari panakawan adalah pana yang berarti bijaksana dan kawan berarti teman jadi artinya adalah teman yang bijaksana - bersama-sama ketiga anaknya yang bernama Gareng, Petruk, dan Bagong, secara umum dalam pewayangan digambarkan sebagai berikut :

1. Semar selalu muncul pada tengah malam pada pagelaran wayang purwo / kulit semalam suntuk yaitu setelah episode yang dinamakan goro-goro yang dalam goro-goro diceritakan terjadi banyaknya kekacauan dimuka bumi ini yang secara simbolik kemunculan Semar dan punokawan meredakan kekacauan tersebut.

2. Pada saat pemunculannya Semar sang Dalang akan bercerita bahwa:
Semar punika saking basa samar, mapan pranyoto Kyai Lurah Semar punika wujudira samar. Yen den wastani jalu wandanira kadi wanita.Yen sinebat estri, dadapuranira teka pria. Pramila katah ingkang klentu mastani. Yen ta wonten ingkang hatanya menggahing sasipatanira hirung sunti mrakateni, mripat mrembes mrakateni, lan sak panunggalnipun sedaya sarwa mrakateni yang terjemahan bebasnya dalam bahasa Indonesia adalah: Semar berasal dari kata samar. Memang sesungguhnya wujud dari Kyai Lurah Semar juga samar. Kalau dikatakan laki-laki wajahnya mirip wanita. Kalau disebut wanita perawakannya seperti laki-laki. Oleh karena itu banyak orang keliru menilai. Jika ada yang mencoba memerinci anggota badannya akan melihat hidungnya mancung seperti wanita yang mempesonakan, matanya yang basah juga mempesonakan, dan yang lain-lain-nya juga serba menarik perhatian.

3. Semar dan panakawan lainnya bukan berasal dari epic Ramayana dan Mahabharata sehingga banyak pakar yang menyimpulkan bahwa tokoh tersebut asli Jawa / asli Indonesia yang sudah ada sebelum agama Hindu dan Budha datang ke Indonesia.

4. Diceritakan asal usul Semar adalah dari telor yang :
a. Kulitnya menjadi Togog yang menjadi simbol hidup laksana kulit tanpa isi yang mementingkan duniawi semata oleh karena itu ia mengabdi pada raksasa sebagai simbul angkaramurka.
b. Putihnya menjadi Semar yang menjadi simbol hidup yang penuh kesucian yang mementingkan isi dari pada kulitnya. Ia selalu memihak kepada kebenaran dan keadilan dan meluruskan segala bentuk penyelewengan oleh karena itu ia mengabdi kepada raja dan ksatria utama.
c. Kuningnya menjadi Manikmaya yang mencerminkan kekuasaan karena itu ia dinobatkan menjadi rajanya dewa di Kahyangan Junggring Salaka sebagai Bhatara Guru. Biarpun Semar itu manusia atau rakyat biasa yang menjadi panakawan para raja dan ksatria, tapi dia memiliki kesaktian yang melebihi Bhatara Guru yang rajanya para Dewa. Semar selalu bisa mengatasi kesaktian dari Bhatara Guru apabila ingin mengganggu Pendawa Lima yang dalam asuhannya.

Banyak arti simbolik dalam masalah ini yang penulis percayai mungkin mendekati kebenaran adalah :
Bhatara Guru dalam agama Hindu adalah Dewa Shiva yang dipuja oleh pemeluk agama Hindu, sedangkan Semar adalah tokoh asli Jawa / asli Indonesia yang mungkin juga dipuja saat sebelum kedatangan agama Hindu. Secara simbolik bisa diartikan bahwa existensi dari budaya atau nilai2 luhur dari Jawa kuno selalu akan bisa mengatasi dari pengaruh Hindu dan secara simbolik selalu memenangkan tokoh Semar terhadap tokoh2 dewa Hindu. Dan hanya dengan menerima tokoh Semar agama Hindu bisa berkembang di Indonesia. Hal ini sekali lagi dibuktikan dengan apa yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga yang menggunakan senjata Puntadewa jamus Kalimasada sebagai transisi dari Hindu menjadi Islam yaitu dengan menimbulkan kisah hutan Ketangga yang mengisahkan pertemuannya dengan Puntadewa dan meng-Islamkan dengan menjabarkan jamus Kalimasada sebagai Kalimat Sahadat. Dan peng-Islaman masyarakat Jawa tidak melepas sama sekali tokoh yang sudah ada dari zaman sebelum Hindu dari sekarang seperti Semar yang perilakunya dijadikan teladan ataupun panutan masyarakat Jawa. Dan disadari oleh Sunan Kalijaga bahwa Islam hanya akan bisa diterima oleh masyarakat Jawa apabila kesenangan orang Jawa akan wayang purwo / kulit tidak diganggu yang sebetulnya kesenangan orang Jawa kepada wayang kulit / purwo bukan sekedar sebagai tontonon tapi suatu upaya pelestarian dari petuah atau etika atau budaya Jawa yang berumur sangat tua yang masih hidup sampai sekarang oleh karena itu wajah Islam di Jawa atau mungkin juga di Indonesia mempunyai ciri budaya yang berbeda dengan Islam di Saudi Arabia tanpa mengurangi makna Islam yang mendasar.

5. Dengan berjalannya waktu tokoh Semar dan panakawan diterjemahkan sebagai simbol kesederhanaan dari rakyat jelata, dikarenakan kehidupannya sebagai Lurah / Kepala Desa yaitu suatu jabatan kepemimpinan yang paling dasar/bawah dalam sistim pemerintahan yang dipilih secara demokratis oleh masyarakat pedesaan pada masa lalu, tokoh Semar selalu berada diantara rakyat kecil dan kesederhanaannya telah membawa kepada sifat kearifan dan kesucian pandangan yang bisa memberikan pandangan yang lebih murni tanpa bias terhadap suatu permasalahan sehingga bisa menangkap kebenaran seperti apa adanya. Oleh karena itu diceritakan dalam wayang purwo/kulit Semar selalu bisa mengatasi permasalahan yang tidak mampu diatasi oleh asuhannya Pendawa Lima ataupun para raja dan ksatria lainnya. Contoh-contoh diatas adalah memberikan suatu gambaran bahwa tokoh Semar merupakan tokoh yang paling banyak mendapat sorotan interpretasi simbolik dikarenakan keunikan, kesamaran dan ketidakjelasannya dan yang lebih lagi karena sebagai tokoh yang asli Jawa / asli Indonesia yang oleh cendikiawan ataupun budayawan Jawa dimasa lalu disisipkan dalam epic Ramayana dan Mahabharata dalam cerita wayang purwo / kulit tanpa harus merusak kisah kepahlawan yang ingin ditonjolkan bahkan malahan memperkaya nuansa etika yang lebih mendalam. Contoh-contoh diatas belum lagi membahas intepretasi tokoh Semar yang bersifat mistik yang penulis tidak akan bahas disini.

Semar dengan senjata ampuhnya Kentut

Diceritakan dalam pewayangan bahwa Semar mempunyai senjata yangsangat ampuh yaitu berupa Kentut dan hal ini yang penulis inginbahas kandungan simbolik yang semata-mata adalah menurut keterbatasan pandangan penulis sendiri. Sebagai suatu kisah kepahlawanan wayang purwo/kulit tidak lepas dari kisah kesaktian senjata dari para pahlawannya untuk bisa memenangkan peperangan, seperti Arjuna dengan senjata panahnya Pasopati, Bima dengan kuku Pancanaka, Sri Kresna dengan Cakra dan sebagainya.

Bahkan dalam pewayangan juga dimasukkan unsur keris yang nyata2 bukan senjata dari Hindia tapi asli dari Jawa. Tradisi memuja senjata ini berlanjut pada budaya/sejarah Jawa dengan pada masa-masa kejayaan kerajaan Hindu dan Islam seperti Ken Arok dengan keris Empu Gandring, Raja Balambangan dengan gada Besi Kuning, Panembahan Senopati dengan tombak Kyai Plered, dsb. Senjata sebagai alat memenangkan peperangan akan tetap penting artinya bahkan sampai pada masa kekinian seperti bagaimana Sekutu menggunakan senjata nuklir untuk memenangkan peperangan melawan Jepang. Juga dengan terjadinya perlombaan kecanggihan persenjataan pada masa perang dingin antara Rusia dan Amerika pada masa beberapa tahun yang lalu. Apabila senjata itu kita terjemahkan sebagai tools atau peralatan untuk memenangkan suatu peperangan ataupun persaingan, pengembangan peralatan ini tidak hanya terbatas kepada sesuatu yang bersifat phisik peralatan peperangan militer tapi juga menyangkut peralatan atau sumber daya (resources) untuk memenangkan persaingan dibidang bisnis dan politik. Sedangkan peralatannya atau tools bisa bervariasi dari penguasaan informasi, sistim, strategi, prosedur/peraturan, sumber daya manusia yang berkwalitas dsb.

Yang memerlukan kajian lebih lanjut kenapa Semar mempunyai senjata Kentut dan bukan senjata yang bersifat phisik seperti panah, pedang, tombak ataupun sejenisnya. Beberapa sifat senjata Kentut nya Semar:

1. Kentut berasal dari dalam diri Semar sendiri, jadi senjata ini sifatnya adalah kekuatan yang muncul dari pribadi Semar bukan alat yang diciptakan atau dibuat.

2. Semar menggunakan senjatanya bukan untuk mematikan tapi lebih untuk menyadarkan. Dalam beberapa lakon/cerita pewayangan Semar menggunakan senjata Kentut nya melawan resi/raja/ksatria yang tidak bisa dikalahkan oleh Pandawa Lima yang akhirnya badar atau sadar kembali pada perwujudannya yang semula, yang biasanya adalah Bhatara Guru, Bhetari Durga dsb.

3. Semar akan menggunakan senjata Kentut nya apabila para raja / ksatria asuhannya tidak bisa mengatasi masalah dengan cara yang konvensional / menggunakan senjata biasa. Sebagai makna simbolik Kentut itu sendri mempunyai sifat-sifat:

1. Selalu mempunyai nuansa bersuara dan berbau.
2. Biasanya baunya busuk atau tidak enak.
3. Jadi Kentut itu juga bisa berati suara yang berbau atau bernuansa kurang enak didengar maupun dirasakan. Jadi kalau kita kombinasikan dengan dengan simbolik Semar sebagai suara rakyat kecil yang bercirikan kesederhanaan yang membawa kepada sifat kearifan dan kesucian pandangan yang bisa memberikan pandangan yang lebih murni tanpa bias terhadap suatu permasalahan sehingga bisa menangkap kebenaran seperti apa adanya. Maka senjata Kentut nya Semar adalah bisa punya arti simbolik suara rakyat yang menyuarakan kebenaran yang sifatnya memberikan kesadaran kepada para pimpinannya agar kembali pada jalan yang benar sehingga suaranya bagi sang pimpinan adalah suara-suara yang tajam dan tidak enak didengar dan kalau dirasakan sangat bau busuk karena keterus terangannya melaksanakan kritik yang cenderung untuk menyakitkan kalau dirasakan bagi sang pemimpin. Dan kenyataannya apabila rakyat sudah mengutarakan isi hatinya, apalagi kalau menyampaikan kemarahannya akan lebih dahsyat seperti laiknya Kentut Kyai Lurah Semar yang mau tidak mau pemimpin harus sadar untuk memperbaiki diri (atau kepemimpinannya sebetulnya tidak diakui oleh mayoritas rakyat dan rakyat mengakuinya semata-mata berdasarkan rasa takut).

Dalam kondisi kekinian, suara rakyat yang murni tidak terdengar dalam tata masyarakat Indonesia dikarenakan ada hambatan2 dalam penyampaiannya atau tidak ada kebebasan dalam menyuarakan pendapatnya/keinginannya (termasuk didalamya kemandulan media masa, lembaga perwakilan rakyat untuk dijadikan sarana rakyat menyatakan pendapatnya yang mungkin saja tidak sejalan dengan pendapat yang sedang berkuasa).

Sebagai akibatnya para pimpinan negara hanya mendengarkan suara-suara yang merdu dan enak didengar saja yang mungkin jauh dari kenyataan yang ada. Oleh karena itu rakyat mencari jalannya sendiri untuk menyuarakan hati nuraninya.
Kalau kita membaca Internet - seperti Indonesia-L - barangkali ini lambang Kentut nya Semar dengan segala suara yang tidak enakdidengar ditelinga oleh para pimpinan Negara kita (kalau mereka baca Internet - mengingat accesnya yang masih terbatas di Indonesia) yang mungkin lebih mendekati realitas dan suara rakyat yang sebenarnya yang menghendaki keterbukaan dan kearifan para pimpinan Negara untuk menerima saran dan kritik agar melakukan perbaikan dan badar atau sadar kembali untuk menuju cita-cita masyarakat Indonesia yang adil makmur bagi semua rakyat (bukan buat sebahagian kecil rakyat yang dengan kedekatannya dengan kekuasaan mendapat kesempatan yang lebih dari yang lain)

Kesimpulan

Senjata Kentut nya Semar adalah secara simbolik bisa diartikan senjata pamungkasnya rakyat untuk menyadarkan pemimpinnya agar kembali kepada jalan yang benar yaitu etika berbudi luhur yang harus dipegang teguh. Mencapai tujuan yang benar haruslah dengan cara yang benar, adalah sangat disayangkan apabila kita dipimpin oleh pimpinan yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan (tanpa maksud untuk mengurangi nilai keberhasilan secara phisik yang telah dicapai selama ini). Nilai-nilai luhur etika Jawa pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya selalu mengajarkan mencapai tujuan yang baik menuju Indonesia yang adil dan makmur harus dengan sekaligus mempraktekkan etika budi luhur agar terjadi Negara ideal yang panjang-punjung, panjang berarti menjadi panutan negara lain, punjung berarti mempunyai kewibawaan yang tinggi.

Tulisan ini dibuat dengan maksud agar tercapai suatu Pemerintahan (siapapun yang melaksanakan) yang berorientasi sepenuhnya untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat secara luas.

Ki Ageng Mangir.
sumber : blog milik Sergio Khatulistiwa

Referensi:

1. Ir. Sri Mulyono Djojosupadmo , Apa dan Siapa Semar, 1975,P.T. Gunung Agung
Dunia Wayang Pitoyo Dotcom : http://www.pitoyo.com/duniawayang Online version: http://www.pitoyo.com/duniawayang/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=23